r e t r o s p e k s i
implementasi perencanaan BanjirKanal Timur, Semarang
dari sudut pandang lingkungan
Banjir menjadi masalah klasik Kota Semarang. Hampir setiap musim penghujan tiba, luapan air senantiasa menggenangi beberapa kawasan, terutama bagian bawah kota tersebut. Berbagai upaya penanganan banjir telah dilakukan para pemegang otoritas, tetapi tak kunjung teratasi. Dengan logika hukum sebab-akibat, banjir sebagai sebuah kondisi, tak lepas dari sejumlah variabel yang menjadi prakondisi. Dengan demikian, logika berpikir yang menganggap banjir di Kota Semarang sebagai sebuah kewajaran, pada dasarnya kurang tepat. Penanganan banjir yang dilakukan Pemerintah Kota dari tahun ke tahun cenderung bersifat parsial. Meski berpuluh-puluh pakar dikerahkan, bermiliar dana dikeluarkan, toh hasilnya belum juga tampak.
Banjirkanal Timur dan Banjirkanak Barat merupakan salah satu solusi yang dipersiapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengantisipasi banjir yang terjadi di Kota Semarang. Dalam perkembangannya banjirkanal ini mengalami pergeseran dari perencanaan semula, karena berbagai sebab. Untuk itu perlu dilakukan retrospeksi terhadap perencanaan banjirkanal, dengan mengacu pada 7 (tujuh) langkah dalam perencanaan, mulai dari identifikasi masalah, formulasi tujuan, analisis situasi/penilaian kondisi, alternatif kebijakan, pilihan alternatif, kajian dampak, sampai dengan pengambilan keputusan. Retrospeksi dalam tulisan ini dibatasi pada Banjirkanal Timur agar lebih terfokus.
I. Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat diangkat dari perencanaan banjirkanal ini adalah ketidakmampuan banjirkanal dalam mengatasi banjir yang terjadi di kota Semarang. Hal ini menjadi penting karena tujuan utama dibuatnya banjirkanal adalah mengalirkan air dari daerah Semarang bagian atas sehingga di Semarang bagian bawah tidak terjadi banjir.
II. Formulasi Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah meretrospeksi implementasi perencanaan Banjirkanal Timur dalam mengatasi banjir, serta mencari solusi pemanfaatan Banjirkanal Timur untuk masa mendatang.
III. Analisis Situasi / Penilaian Kondisi
Proses Perencanaan
Pemerintah Kolonial Belanda yang saat itu berkuasa di Semarang merencanakan secara matang, penanganan banjir di Kota Semarang. Langkah pertama yang diambil dengan pembuatan dua kanal besar pada sisi barat dan timur kota. Pekerjaan besar yang dilakukan melalui heren diensten (kerja wajib) itu dimulai dengan membangun Banjirkanal Timur (Oost Bandjirkanaal) pada tahun 1858 (Peta Banjirkanal Timur terlampir). Empat dasawarsa kemudian, sekitar tahun 1901 atau 1904, menyusul Banjirkanaal Barat (West Bandjirkanaal).
Fungsi banjirkanal
Pada awalnya, kedua banjirkanal difungsikan untuk mengalirkan luapan air dari kawasan Semarang bagian atas langsung menuju laut. Artinya, air yang berasal dari kaki Gunung Ungaran yang mengalir melalui beberapa sungai besar diteruskan ke Laut Jawa. Sesuai rancangan yang dibuat, fungsi kedua kanal semata-mata hanya itu, tidak lebih. Banjirkanal Timur dan Banjirkanal Barat tidak diperuntukkan sebagai pembuangan air yang berasal dari dalam kota. Sehingga sistem drainase dalam kota yang dibuat pada saat itu tidak bermuara pada kedua kanal itu, melainkan langsung ke laut Jawa. Kalaupun ada pintu-pintu air di Banjirkanal, semuanya diatur secara ketat dan teliti. Itu dilakukan karena kapasitas kedua kanal itu hanya cukup untuk menampung aliran air yang berasal dari kawasan Semarang atas saja (Indriyanto, 2002).
Pada masa selanjutnya, perkembangan Kota Semarang berlangsung cepat. Kota yang semula hanya sekumpulan permukiman di sekitar benteng De Vijfhook tersebut, bertambah kompleks. Sebagai sebuah kota yang berada di tepi pantai, perkembangan Semarang menyerupai telapak tangan, di mana masing-masing jarinya menunjuk ke lima arah timur, selatan, dan barat. Masing-masing ke wilayah Tugu, Boja dan Mijen, Jatingaleh dan Banyumanik, Kedungmundu dan Meteseh, serta Pedurungan.
Seiring perkembangan itu, Semarang berubah menjadi kota yang padat penduduk. Kawasan permukiman bertambah luas. Dampak langsung dari kondisi itu berupa pembangunan drainase-drainase baru. Namun itu dilakukan tanpa perencanaan matang. Celakanya, justru mengabaikan prinsip dasar kegunaan dua kanal yang dibangun Pemerintah Kolonial tersebut.
Sistem drainase yang dibangun pada masa kemudian, menurut Indriyanto, cenderung silang sengkarut. Drainase dialirkan ke kedua kanal yang memiliki kapasitas terbatas. Akibatnya adalah pada saat turun hujan, air tak lagi tertampung pada banjirkanal dan meluber ke kampung yang berada di sekitarnya.
Masih menurut Indriyanto, mestinya Banjirkanal dikembalikan fungsinya seperti sediakala. Untuk menampung air dari kawasan kota perlu dibangun kanal baru yang langsung bermuara ke laut. Penanganan banjir di Semarang, sejauh ini masih cenderung parsial. Selain hal-hal yang bersifat teknik, seperti pembangunan infrastruktur, mestinya pemerintah juga memperhatikan faktor sosial-budaya. Dalam hal ini perlu ada kajian yang hasilnya dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain perlu dibuat regulasi yang tegas, untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
Perkembangan Banjir dari waktu ke waktu
Hampir setiap saat Semarang bagian bawah terjadi banjir. Tercatat beberapa kejadian banjir besar yang melanda kota Semarang, antara lain:
Pada tahun 1971, beberapa bagian pusat Kota Semarang khususnya di antara kedua Banjirkanal, yaitu Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur telah dilanda banjir. Daerah-daerah yang sering terkena banjir pada waktu itu adalah daerah-daerah yang terletak pada satuan bentuk lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya, seperti bekas satuan bentuk lahan rawa delta dan rawa pasang surut berair payau. Lama, luas, dan kedalaman banjir bervariasi. Di Kompleks Simpang Lima misalnya kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir antara 3-6 jam, dan luasnya sekitar 50,78 hektar; di daerah Mlatiharjo kedalaman banjir berkisar antara 4070 cm dan lama banjir antara 3 - 6 jam, luasnya sekitar 63,9 hektar; di Kuningan kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir berkisar 1 - 6 jam dengan luas sekitar 16,26 hektar.
Pada tahun 1980 luas banjir di pusat Kota Semarang mencapai luasan sekitar 762,775 hektar, dan umumnya terjadi di daerah permukiman yang berada pada satuan bentuk lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya. Dan banjir yang terjadi di pusat Kota Semarang pada tahun 1987 telah meluas pada satuan bentuk lahan yang sebelumnya tidak pernah kena banjir. Luas daerah banjir antara Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur dalam periode ini luasnya sekitar 1.211,70 hektar (DPU Kotamadya Semarang, 1987).
Banjirkanal Timur
Semarang yang tiap tahun selalu dilanda banjir, seringkali mengandalkan sungai Banjir kanal Timur. Sementara fungsi Banjirkanal Timur yang telah dibangun di Kota Semarang, hampir tidak bisa menampung banjir kiriman yang berasal dari Kabupaten Demak dan Kabupaten Semarang. Apalagi bila terjadi rob (permukaan air laut naik), sulit menghindari Semarang dari banjir.
Lokasi Banjirkanal Timurpun berubah. Dari semula yang berada di timur kota Semarang mengarah ke tengah kota. Pasalnya, pembangunan industri dan permukiman terus berkembang ke arah timur. Ditambah lagi dengan telah berubahnya batas wilayah kota Semarang. Padahal di akhir abad ke 19, sungai Banjirkanal Timur oleh pemerintah Belanda digunakan sebagai batas timur dari wilayah kota Semarang.
Kondisi Banjirkanal Timur saat ini, sedimentasi yang tinggi menyebabkan pendangkalan
dan penyempitan kanal, mengurangi kapasitas saluran sebagai pengendali banjir
Fungsi Banjirkanal Timur menampung banjir yang datang dari hulu sungai Dolok dan Penggaron. Kemudian melalui pintu di Bendung Pucanggading, akan dialirkan ke laut Jawa. Konsep pengaturan banjir melalui satu bangunan pembagi banjir, tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan lokasi tempat tinggalnya pun menyebar. Masyarakat semakin menuntut agar wilayahnya tidak terkena banjir.
Untuk mengendalikan banjir kota Semarang inilah, dilaksanakan penyempurnaan alur banjir Dombo-Sayung. Sama halnya dengan Banjirkanal Timur, alur banjir Dombo-Sayung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengendali banjir Dolok-Penggaron secara keseluruhan.
IV. Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan disusun berdasarkan pertimbangan ekonomi, teknologi, dan lingkungan. Alternatif yang dapat dilakukan antara lain :
1) Mengembalikan fungsi banjirkanal timur sesuai rencana seperti yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan menghubungkan saluran drainase kota langsung ke laut Jawa;
2) Memfungsikan banjirkanal sebagai saluran buangan drainase kota saja, sedangkan untuk air larian yang menyebabkan banjir dari Kabupaten Demak dan Semarang atas bagian timur dialihkan ke saluran Dombo-Sayung;
3) Memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung
V. Pilihan Kebijakan
Berdasarkan beberapa alternatif kebijakan, maka kebijakan yang dipilih adalah alternatif ketiga, yaitu memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung. Pertimbangan pilihan tersebut adalah :
a. Banjirkanal yang semula hanya direncanakan untuk menampung air dari daerah Semarang atas saja, dalam perkembangannya telah terhubung dengan saluran drainase kota. Apabila mengembalikan kepada fungsi semula maka saluran drainase dalam kota yang telah terhubung dengan banjirkanal akan menjadi tidak berfungsi. Untuk membuat saluran drainase kota dapat berfungsi dengan baik apabila tidak terhubung dengan banjirkanal, maka harus dibuat saluran tersendiri yang langsung menuju Laut Jawa. Hal ini tentu akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
b. Dengan membuat banjirkanal berfungsi ganda, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah Semarang atas dan sebagai saluran pembuangan dari drainase kota tentu kapasitas banjirkanal tidak akan mencukupi. Untuk itu, dalam hal sebagai saluran banjir untuk daerah atas sebelah timur khususnya dari daerah Demak, perlu dioptimalkan saluran Dombo-Sayung. Dengan demikian maka banjir yang terjadi dari daerah Semarang atas bagian timur dapat disalurkan melalui saluran Dombo-Sayung. Pemanfaatan saluran Dombo-Sayung akan mengurangi daerah rawan banjir di kota Semarang dan Kabupaten Demak dari semula daerah rawan banjir di kedua kota tersebut seluas 8.300 Ha, akan berkurang menjadi 1.300 Ha.
VI. Kajian Dampak
Dalam setiap kegiatan tentu akan menimbulkan dampak. Dampak tersebut bisa berupa dampak yang baik dan dampak yang buruk. Demikian juga dengan pilihan alternatif untuk memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung.
Hasil utama yang diharapkan dari alternatif kebijakan yang diajukan adalah banjir yang terjadi di Semarang bagian bawah dapat dicegah, atau setidaknya dapat dikurangi. Dampak positif yang mungkin timbul antara lain :
a. Aktivitas manusia di daerah yang selama ini rawan banjir tidak terganggu oleh banjir lagi. Dengan demikian kerugian yang disebabkan oleh banjir terhadap aktifitas manusia baik berupa kerugian material dan non material dapat dikurangi.
b. Partisipasi masyarakat dalam lingkungannya meningkat karena masyarakat merasa memiliki lingkungannya.
c. Penghematan anggaran, pikiran, dan tenaga dari proyek-proyek pengendalian banjir. Dengan adanya penghematan, maka anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan di sektor lainnya.
d. Citra Kota Semarang sebagai “kota banjir” akan berubah dan mengalami perbaikan
Dampak negatif yang mungkin timbul, antara lain :
a. Dengan memfungsikan banjirkanal selain saluran banjir juga saluran drainase, ada kemungkinan banjirkanal tersebut tidak mampu menampung air pada periode hujan tertentu, misalnya periode hujan 25 atau 50 tahunan. Dengan demikian maka tetap akan terjadi banjir meskipun banjir tidak terjadi setiap tahun.
b. Apabila banjir dapat diatasi, maka banjir yang selama ini telah menjadi komoditi, proyek-proyek yang berhubungan dengan banjirpun akan berkurang. Untuk sebagian orang tertentu yang memanfaatkan banjir sebagai komodi-pun akan terkena dampaknya
c. Pelaksanaan alternatif kebijakan tentu akan menimbulkan benturan-benturan, baik antar sektor, antar wilayah, antar kebijakan, maupun dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena selama ini pelaksanaan pembangunan kurang koordinasi antara satu pihak dengan pihak yang lain. Implementasi kebijakan sering bersifat keproyekan, sehingga untuk kepentingan sesaat tanpa melihat hal yang perencanaan yang telah ada serta tanpa melihat keberlanjutan dari proyek tersebut.
d. Adanya penolakan dari masyarakat, misalnya dari masyarakat yang terkena pembangunan proyek secara langsung, penolakan karena faktor ekonomi, maupun penolakan faktor sosial dan budaya.
VII. Pengambilan Keputusan
Dalam pembuatan perencanaan digunakan pendekatan sinoptik komprehensif dan transaktif atau sosial learning. Tipe perencanaan sinoptik komprehensif ini ditunjukan dengan pembuatan banjirkanal dan saluran Dombo-Sayung yang diukur menggunakan data yang akurat dan terstandarisasi. Untuk tipe perencanaan transaktif atau sosial learning ditekankan pada partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Tipe perencanaan ini akan lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama karena merubah perilaku masyarakat. Namun perencanaan tipe ini akan lebih menjamin keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang sehingga berkelanjutan.
Keputusan kebijakan yang diambil untuk pengendalian banjir di Semarang adalah dengan memfungsikan banjirkanal timur untuk buangan air dari daerah Semarang atas dan drainase dari kota, dan memfungsikan saluran banjir Dombo-Sayung untuk menampung banjir dari Semarang bagian timur dan Kabupaten Demak serta penataan fungsi kawasan sesuai UU Tata Ruang. Kata kunci dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah koordinasi antar kabupaten atau kota, dalam hal ini adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Demak.
Kegiatan yang menunjang keberhasilan fungsi banjirkanal timur antara lain dengan melaksanakan normalisasi saluran banjirkanal timur agar kapasitas tampung maksimal, perencanaan dan implementasi penataan ruang yang terpadu di Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan sekitarnya, serta partisipasi aktif masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam pelaksanaanya harus dilaksanakan secara terpadu dan lintas sektoral serta lintas administratif.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce Mitchell, B. Setyawan, Dwita H.R., Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007.
Hadi, Sudharto P., Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
---------------, Mengurai Banjir Semarang (1), Suara Merdeka, 27 Nopember 2004
Rukardi, Kembalikan Fungsi Banjirkanal, Majalah Tempo, 20 November 2008
1 komentar:
Bagus ini untuk referensi
Kunjungi ittelkom-sby.ac.id
Posting Komentar