18 Januari 2009

Retrospeksi Implementasi Perencanaan BanjirKanal Timur, Semarang dari sudut pandang lingkungan

r e t r o s p e k s i

implementasi perencanaan BanjirKanal Timur, Semarang

dari sudut pandang lingkungan

Banjir menjadi masalah klasik Kota Semarang. Hampir setiap musim penghujan tiba, luapan air senantiasa menggenangi beberapa kawasan, terutama bagian bawah kota tersebut. Berbagai upaya penanganan banjir telah dilakukan para pemegang otoritas, tetapi tak kunjung teratasi. Dengan logika hukum sebab-akibat, banjir sebagai sebuah kondisi, tak lepas dari sejumlah variabel yang menjadi prakondisi. Dengan demikian, logika berpikir yang menganggap banjir di Kota Semarang sebagai sebuah kewajaran, pada dasarnya kurang tepat. Penanganan banjir yang dilakukan Pemerintah Kota dari tahun ke tahun cenderung bersifat parsial. Meski berpuluh-puluh pakar dikerahkan, bermiliar dana dikeluarkan, toh hasilnya belum juga tampak.

Banjirkanal Timur dan Banjirkanak Barat merupakan salah satu solusi yang dipersiapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengantisipasi banjir yang terjadi di Kota Semarang. Dalam perkembangannya banjirkanal ini mengalami pergeseran dari perencanaan semula, karena berbagai sebab. Untuk itu perlu dilakukan retrospeksi terhadap perencanaan banjirkanal, dengan mengacu pada 7 (tujuh) langkah dalam perencanaan, mulai dari identifikasi masalah, formulasi tujuan, analisis situasi/penilaian kondisi, alternatif kebijakan, pilihan alternatif, kajian dampak, sampai dengan pengambilan keputusan. Retrospeksi dalam tulisan ini dibatasi pada Banjirkanal Timur agar lebih terfokus.

I. Identifikasi Masalah

Masalah yang dapat diangkat dari perencanaan banjirkanal ini adalah ketidakmampuan banjirkanal dalam mengatasi banjir yang terjadi di kota Semarang. Hal ini menjadi penting karena tujuan utama dibuatnya banjirkanal adalah mengalirkan air dari daerah Semarang bagian atas sehingga di Semarang bagian bawah tidak terjadi banjir.

II. Formulasi Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai adalah meretrospeksi implementasi perencanaan Banjirkanal Timur dalam mengatasi banjir, serta mencari solusi pemanfaatan Banjirkanal Timur untuk masa mendatang.

III. Analisis Situasi / Penilaian Kondisi

* Proses Perencanaan

Pemerintah Kolonial Belanda yang saat itu berkuasa di Semarang merencanakan secara matang, penanganan banjir di Kota Semarang. Langkah pertama yang diambil dengan pembuatan dua kanal besar pada sisi barat dan timur kota. Pekerjaan besar yang dilakukan melalui heren diensten (kerja wajib) itu dimulai dengan membangun Banjirkanal Timur (Oost Bandjirkanaal) pada tahun 1858 (Peta Banjirkanal Timur terlampir). Empat dasawarsa kemudian, sekitar tahun 1901 atau 1904, menyusul Banjirkanaal Barat (West Bandjirkanaal).

* Fungsi banjirkanal

Pada awalnya, kedua banjirkanal difungsikan untuk mengalirkan luapan air dari kawasan Semarang bagian atas langsung menuju laut. Artinya, air yang berasal dari kaki Gunung Ungaran yang mengalir melalui beberapa sungai besar diteruskan ke Laut Jawa. Sesuai rancangan yang dibuat, fungsi kedua kanal semata-mata hanya itu, tidak lebih. Banjirkanal Timur dan Banjirkanal Barat tidak diperuntukkan sebagai pembuangan air yang berasal dari dalam kota. Sehingga sistem drainase dalam kota yang dibuat pada saat itu tidak bermuara pada kedua kanal itu, melainkan langsung ke laut Jawa. Kalaupun ada pintu-pintu air di Banjirkanal, semuanya diatur secara ketat dan teliti. Itu dilakukan karena kapasitas kedua kanal itu hanya cukup untuk menampung aliran air yang berasal dari kawasan Semarang atas saja (Indriyanto, 2002).


Pada masa selanjutnya, perkembangan Kota Semarang berlangsung cepat. Kota yang semula hanya sekumpulan permukiman di sekitar benteng De Vijfhook tersebut, bertambah kompleks. Sebagai sebuah kota yang berada di tepi pantai, perkembangan Semarang menyerupai telapak tangan, di mana masing-masing jarinya menunjuk ke lima arah timur, selatan, dan barat. Masing-masing ke wilayah Tugu, Boja dan Mijen, Jatingaleh dan Banyumanik, Kedungmundu dan Meteseh, serta Pedurungan.

Seiring perkembangan itu, Semarang berubah menjadi kota yang padat penduduk. Kawasan permukiman bertambah luas. Dampak langsung dari kondisi itu berupa pembangunan drainase-drainase baru. Namun itu dilakukan tanpa perencanaan matang. Celakanya, justru mengabaikan prinsip dasar kegunaan dua kanal yang dibangun Pemerintah Kolonial tersebut.

Sistem drainase yang dibangun pada masa kemudian, menurut Indriyanto, cenderung silang sengkarut. Drainase dialirkan ke kedua kanal yang memiliki kapasitas terbatas. Akibatnya adalah pada saat turun hujan, air tak lagi tertampung pada banjirkanal dan meluber ke kampung yang berada di sekitarnya.

Masih menurut Indriyanto, mestinya Banjirkanal dikembalikan fungsinya seperti sediakala. Untuk menampung air dari kawasan kota perlu dibangun kanal baru yang langsung bermuara ke laut. Penanganan banjir di Semarang, sejauh ini masih cenderung parsial. Selain hal-hal yang bersifat teknik, seperti pembangunan infrastruktur, mestinya pemerintah juga memperhatikan faktor sosial-budaya. Dalam hal ini perlu ada kajian yang hasilnya dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Di sisi lain perlu dibuat regulasi yang tegas, untuk mengurangi kerusakan lingkungan.

* Perkembangan Banjir dari waktu ke waktu

Hampir setiap saat Semarang bagian bawah terjadi banjir. Tercatat beberapa kejadian banjir besar yang melanda kota Semarang, antara lain:

* Pada tahun 1971, beberapa bagian pusat Kota Semarang khususnya di antara kedua Banjirkanal, yaitu Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur telah dilanda banjir. Daerah-daerah yang sering terkena banjir pada waktu itu adalah daerah-daerah yang terletak pada satuan bentuk ­lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya, seperti bekas satuan bentuk lahan rawa delta dan rawa pasang surut berair payau. Lama, luas, dan kedalaman banjir bervariasi. Di Kompleks Simpang Lima misalnya kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir antara 3-6 jam, dan luasnya sekitar 50,78 hektar; di daerah Mlatiharjo kedalaman banjir berkisar antara 40­70 cm dan lama banjir antara 3 - 6 jam, luasnya sekitar 63,9 hektar; di Kuningan kedalaman banjir mencapai 50 cm dengan lama banjir berkisar 1 - 6 jam dengan luas sekitar 16,26 hektar.

* Pada tahun 1980 luas banjir di pusat Kota Semarang mencapai luasan sekitar 762,775 hektar, dan umumnya ter­jadi di daerah permukiman yang berada pada satuan bentuk ­lahan yang lebih rendah dari satuan bentuk lahan lain di sekitarnya. Dan banjir yang terjadi di pusat Kota Semarang pada tahun 1987 telah meluas pada satuan bentuk ­lahan yang sebelumnya tidak pernah kena banjir. Luas dae­rah banjir antara Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur dalam periode ini luasnya sekitar 1.211,70 hektar (DPU Kotamadya Semarang, 1987).

* Banjirkanal Timur

Semarang yang tiap tahun selalu dilanda banjir, seringkali mengandalkan sungai Banjir kanal Timur. Sementara fungsi Banjirkanal Timur yang telah dibangun di Kota Semarang, hampir tidak bisa menampung banjir kiriman yang berasal dari Kabupaten Demak dan Kabupaten Semarang. Apalagi bila terjadi rob (permukaan air laut naik), sulit menghindari Semarang dari banjir.

Lokasi Banjirkanal Timurpun berubah. Dari semula yang berada di timur kota Semarang mengarah ke tengah kota. Pasalnya, pembangunan industri dan permukiman terus berkembang ke arah timur. Ditambah lagi dengan telah berubahnya batas wilayah kota Semarang. Padahal di akhir abad ke 19, sungai Banjirkanal Timur oleh pemerintah Belanda digunakan sebagai batas timur dari wilayah kota Semarang.

Kondisi Banjirkanal Timur saat ini, sedimentasi yang tinggi menyebabkan pendangkalan

dan penyempitan kanal, mengurangi kapasitas saluran sebagai pengendali banjir

Fungsi Banjirkanal Timur menampung banjir yang datang dari hulu sungai Dolok dan Penggaron. Kemudian melalui pintu di Bendung Pucanggading, akan dialirkan ke laut Jawa. Konsep pengaturan banjir melalui satu bangunan pembagi banjir, tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan lokasi tempat tinggalnya pun menyebar. Masyarakat semakin menuntut agar wilayahnya tidak terkena banjir.

Untuk mengendalikan banjir kota Semarang inilah, dilaksanakan penyempurnaan alur banjir Dombo-Sayung. Sama halnya dengan Banjirkanal Timur, alur banjir Dombo-Sayung merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengendali banjir Dolok-Penggaron secara keseluruhan.

IV. Alternatif Kebijakan

Alternatif kebijakan disusun berdasarkan pertimbangan ekonomi, teknologi, dan lingkungan. Alternatif yang dapat dilakukan antara lain :

1) Mengembalikan fungsi banjirkanal timur sesuai rencana seperti yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan menghubungkan saluran drainase kota langsung ke laut Jawa;

2) Memfungsikan banjirkanal sebagai saluran buangan drainase kota saja, sedangkan untuk air larian yang menyebabkan banjir dari Kabupaten Demak dan Semarang atas bagian timur dialihkan ke saluran Dombo-Sayung;

3) Memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung

V. Pilihan Kebijakan

Berdasarkan beberapa alternatif kebijakan, maka kebijakan yang dipilih adalah alternatif ketiga, yaitu memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung. Pertimbangan pilihan tersebut adalah :

a. Banjirkanal yang semula hanya direncanakan untuk menampung air dari daerah Semarang atas saja, dalam perkembangannya telah terhubung dengan saluran drainase kota. Apabila mengembalikan kepada fungsi semula maka saluran drainase dalam kota yang telah terhubung dengan banjirkanal akan menjadi tidak berfungsi. Untuk membuat saluran drainase kota dapat berfungsi dengan baik apabila tidak terhubung dengan banjirkanal, maka harus dibuat saluran tersendiri yang langsung menuju Laut Jawa. Hal ini tentu akan memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

b. Dengan membuat banjirkanal berfungsi ganda, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah Semarang atas dan sebagai saluran pembuangan dari drainase kota tentu kapasitas banjirkanal tidak akan mencukupi. Untuk itu, dalam hal sebagai saluran banjir untuk daerah atas sebelah timur khususnya dari daerah Demak, perlu dioptimalkan saluran Dombo-Sayung. Dengan demikian maka banjir yang terjadi dari daerah Semarang atas bagian timur dapat disalurkan melalui saluran Dombo-Sayung. Pemanfaatan saluran Dombo-Sayung akan mengurangi daerah rawan banjir di kota Semarang dan Kabupaten Demak dari semula daerah rawan banjir di kedua kota tersebut seluas 8.300 Ha, akan berkurang menjadi 1.300 Ha.

VI. Kajian Dampak

Dalam setiap kegiatan tentu akan menimbulkan dampak. Dampak tersebut bisa berupa dampak yang baik dan dampak yang buruk. Demikian juga dengan pilihan alternatif untuk memperluas fungsi banjirkanal, yaitu sebagai saluran banjir dari daerah atas serta sebagai saluran drainase kota serta mengalihkan sebagian air larian yang menyebabkan banjir ke saluran Dombo-Sayung.

Hasil utama yang diharapkan dari alternatif kebijakan yang diajukan adalah banjir yang terjadi di Semarang bagian bawah dapat dicegah, atau setidaknya dapat dikurangi. Dampak positif yang mungkin timbul antara lain :

a. Aktivitas manusia di daerah yang selama ini rawan banjir tidak terganggu oleh banjir lagi. Dengan demikian kerugian yang disebabkan oleh banjir terhadap aktifitas manusia baik berupa kerugian material dan non material dapat dikurangi.

b. Partisipasi masyarakat dalam lingkungannya meningkat karena masyarakat merasa memiliki lingkungannya.

c. Penghematan anggaran, pikiran, dan tenaga dari proyek-proyek pengendalian banjir. Dengan adanya penghematan, maka anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan di sektor lainnya.

d. Citra Kota Semarang sebagai “kota banjir” akan berubah dan mengalami perbaikan

* Dampak negatif yang mungkin timbul, antara lain :

a. Dengan memfungsikan banjirkanal selain saluran banjir juga saluran drainase, ada kemungkinan banjirkanal tersebut tidak mampu menampung air pada periode hujan tertentu, misalnya periode hujan 25 atau 50 tahunan. Dengan demikian maka tetap akan terjadi banjir meskipun banjir tidak terjadi setiap tahun.

b. Apabila banjir dapat diatasi, maka banjir yang selama ini telah menjadi komoditi, proyek-proyek yang berhubungan dengan banjirpun akan berkurang. Untuk sebagian orang tertentu yang memanfaatkan banjir sebagai komodi-pun akan terkena dampaknya

c. Pelaksanaan alternatif kebijakan tentu akan menimbulkan benturan-benturan, baik antar sektor, antar wilayah, antar kebijakan, maupun dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena selama ini pelaksanaan pembangunan kurang koordinasi antara satu pihak dengan pihak yang lain. Implementasi kebijakan sering bersifat keproyekan, sehingga untuk kepentingan sesaat tanpa melihat hal yang perencanaan yang telah ada serta tanpa melihat keberlanjutan dari proyek tersebut.

d. Adanya penolakan dari masyarakat, misalnya dari masyarakat yang terkena pembangunan proyek secara langsung, penolakan karena faktor ekonomi, maupun penolakan faktor sosial dan budaya.


VII. Pengambilan Keputusan

Dalam pembuatan perencanaan digunakan pendekatan sinoptik komprehensif dan transaktif atau sosial learning. Tipe perencanaan sinoptik komprehensif ini ditunjukan dengan pembuatan banjirkanal dan saluran Dombo-Sayung yang diukur menggunakan data yang akurat dan terstandarisasi. Untuk tipe perencanaan transaktif atau sosial learning ditekankan pada partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Tipe perencanaan ini akan lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama karena merubah perilaku masyarakat. Namun perencanaan tipe ini akan lebih menjamin keberhasilan pembangunan dalam jangka panjang sehingga berkelanjutan.

Keputusan kebijakan yang diambil untuk pengendalian banjir di Semarang adalah dengan memfungsikan banjirkanal timur untuk buangan air dari daerah Semarang atas dan drainase dari kota, dan memfungsikan saluran banjir Dombo-Sayung untuk menampung banjir dari Semarang bagian timur dan Kabupaten Demak serta penataan fungsi kawasan sesuai UU Tata Ruang. Kata kunci dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah koordinasi antar kabupaten atau kota, dalam hal ini adalah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Demak.

Kegiatan yang menunjang keberhasilan fungsi banjirkanal timur antara lain dengan melaksanakan normalisasi saluran banjirkanal timur agar kapasitas tampung maksimal, perencanaan dan implementasi penataan ruang yang terpadu di Kabupaten Semarang, Kota Semarang dan sekitarnya, serta partisipasi aktif masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut dalam pelaksanaanya harus dilaksanakan secara terpadu dan lintas sektoral serta lintas administratif.


DAFTAR PUSTAKA

Bruce Mitchell, B. Setyawan, Dwita H.R., Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007.

Hadi, Sudharto P., Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

---------------, Mengurai Banjir Semarang (1), Suara Merdeka, 27 Nopember 2004

Rukardi, Kembalikan Fungsi Banjirkanal, Majalah Tempo, 20 November 2008

22 November 2008

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS DALAM UPAYA PENANGGULANGAN BAHAYA BANJIR DAN TANAH LONGSOR

(Kasus : Bencana Banjir dan Tanah Longsor di DAS Solo, Desember 2007)

Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada akhir 2007 lalu sangat mengejutkan karena luapannya sangat luas menggenangi beberapa kabupaten, mulai dari Karanganyar, Solo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Apabila kondisi DAS di wilayah itu baik maka sebenarnya banjir luar biasa tidak akan terjadi. Namun, kenyataannya terjadi banjir besar. Semua keadaan ini mengindikasikan bahwa sudah terjadi degradasi lahan di DAS tersebut. Degradasi lahan tersebut mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Kapasitas infiltrasi DAS menurun dan koefisien aliran permukaan meningkat. Selain banjir terjadi juga tanah longsor di Kab. Karanganyar, Ponorogo dan Wonogiri.

Banjir dan tanah longsor disebabkan oleh faktor-faktor alam dan kegiatan manusia yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang menyebabkan menurunnya fungsi hidrologis ekosistem DAS. Faktor alam terutama disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi, kondisi geomorfologi DAS, dan pasang surut air laut. Sedangkan faktor manusia disebabkan karena perubahan penggunaan lahan, sarana prasarana drainase yang belum baik serta kelembagaan pemerintah dan masyarakat yang belum mantap. Di sisi lain tanah longsor sangat terkait dengan kerentanan gerakan tanah (faktor geologi) dan curah hujan.

ANALISIS KASUS :

DAS sebagai satu kesatuan unit perencanaan mempunyai makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus menampung seluruh kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang baik merupakan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan yang akan dikerjakan. Sementara pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Permasalahan tersebut antara lain terjadinya erosi, banjir, kekeringan, masih belum adanya keterpaduan antar sektor, antar instansi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang pelestarian sumberdaya alam.

Berbagai upaya kegiatan pengelolaan DAS telah dilakukan untuk menjadikan kondisi yang optimal dari sumberdaya tanah, air dan vegetasi antara lain: pengelolaan lahan melalui usaha konservasi tanah dalam arti yang luas, pengelolaan air melalui pengembangan sumberdaya air, pengelolaan vegetasi, khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air serta pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam pengembangan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan serta pada upaya pengelolaan DAS. Selain itu dilakukan pula upaya-upaya pengembangan kelembagaan antara lain: kelompok tani, forum-forum LSM, Tim Koordinasi, jejaring kerja dan lain-lain.

Agar perencanaan pengelolaan DAS berjalan baik, khususnya dalam penanganan banjir dan tanah longsor, 4 (empat) pilar perencanaan lingkungan yang terdiri dari pilar perilaku, manajemen, hukum dan politik harus dalam kondisi seimbang, selaras, dan harmonis.

1. Pilar Perilaku :

Disadari atau tidak, mayoritas perilaku manusia (budaya) postmodern dalam berbagai bidang kehidupan cenderung merusak kualitas lingkungan hidup. Munculnya bencana banjir, penggundulan hutan (illegal logging), tanah longsor dan pemanasan global jelas merupakan dampak terburuk akibat ulah manusia postmodern-yang bermental kapitalistis-egoistis.

Kearifan lokal dan bentuk kesadaran hidup lainnya perlu ditumbuhkan di DAS Solo. Kita memang tak boleh malu, harus belajar dari kearifan lokal khas masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di hulu Sungai Bahau di pedalaman Kalimantan. Meski hutan belantara di daerah Kalimantan dipakai untuk berbagai pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat di sana, mulai dari aktivitas perladangan berpindah (nomaden) pada hutan primer maupun sekunder, berburu dan menangkap ikan, meramu sayuran dan buah-buahan hutan, hingga sebagai tempat mengambil bahan-bahan bangunan (material), namun ada pranata-pranata tradisional yang mereka patuhi agar keselarasan lingkungan hidup tetap langgeng terjaga. Jenis budaya lokal semacam inilah yang wajib ditumbuhkembangkan kembali demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Dapat dikatakan secara sederhana, dalam pola korelasi budaya manusia dan lingkungan terjadi dua bentuk hubungan (biparteit) yakni hukum "simbiosis mutualisme" atau "simbisosis parasitisme". Berlaku relasi yang pertama, simbiosis mutualisme bila terjalin hubungan "mesra" antara budaya manusia dan lingkungan hidup, di mana masing-masing pihak memperoleh keuntungan bersama.

Hutan yang menghijau, sungai yang berair jernih lengkap dengan kehidupan ikan yang bermanja-manja di sana; manusia yang rajin menyirami dan memupuk tanaman, membuang sampah pada tempatnya dan bentuk perilaku lain menandakan keserasian antara manusia dan alam.

Berkebalikan dengan pola relasi di atas. Hubungan simbiosis parasitisme terpicu akibat ketidakharmonisan antara budaya manusia dan lingkungan, hingga saling merugikan satu dengan lainnya. Terjadinya bencana banjir akibat pembabatan hutan, membludaknya aliran sungai akibat jejalan sampah dan bentuk bencana alam lain-menjadi pertanda buruk bagi masa depan manusia dan alam itu sendiri.

Budaya manusia mempengaruhi kualitas lingkungan. Begitu sebaliknya lingkungan juga mempengaruhi perilaku budaya manusia. Pertautan antara budaya dan lingkungan memang amat erat. Di sinilah letak otoritas manusia, yang memiliki dua karunia kejeniusan berupa akal pikiran dan hati nurani, berperan urgen dalam menentukan pola hubungan manakah yang akan dipilih. Tinggal pola hubungan budaya manusia dan lingkungan yang pertama atau keduakah?

Menurut data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, luas tutupan hutan di Pulau Jawa pada tahun 2007 hanya tersisa 8,2 persen atau 1,08 juta hektar dari total luas daratan yang mencapai sekitar 13, 2 juta hektar. Kondisi ini jelas jauh dari luas ideal yang dipersyaratkan agar daya dukung lingkungan Pulau Jawa cukup memadai. Pasalnya, minimal daerah hutan harus selalu terjaga minimal pada angka 30 persen dari luas daratannya. Berkurangnya luas tutupan hutan ini diakibatkan oleh penebangan hutan secara sporadis dan tak terkendali, alih fungsi lahan hutan untuk permukiman penduduk dan gagalnya upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis.

Sekali lagi penumbuhan budaya manusia agar sadar dalam memahami tata kelola pemukiman menjadi perihal penting guna mencegah terjadinya banjir bandang di masa mendatang. Pada sisi lain tren terjadinya pemanasan global yang melanda dunia saat ini, nyata benar menjadi ancaman bagi eksistensi masa depan umat manusia. Secara simultan telah terjadi beragam bencana di sejumlah negara belahan benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia.

Tentunya motif ekonomi berperan besar dalam perusakan lingkungan hutan tersebut. Lagi-lagi perilaku dan budaya manusia postmodern menjadi biang kerok penyebab bencana alam yang menimpa umat manusia, saat ini. Anehnya, Kelompok Negara Maju (G8)-yang terbentang luas di belahan bumi bagian utara, hanya "gemar" menyalahkan negara-negara miskin yang tersebar di sepanjang belahan bumi bagian selatan-yang mayoritas miskin.

Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia berupa aktivitas-aktivitas berikut ini memicu terjadinya banjir dan tanah longsor :

a. Penebangan hutan ilegal (pencurian kayu)

b. Kebakaran hutan

c. Perambahan hutan

d. Eksploitasi hutan dan lahan berlebihan (HPH, tambang, kebun, industri, permukiman, jalan, pertanian, dll.)

e. Penggunaan / pemanfaatan lahan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air (untuk berbagai kepentingan)

2. Pilar Manajemen

Banjir dan longsor merupakan bencana yang predictable disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor alam dan kegiatan manusia yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya daya alam yang menyebabkan menurunnya fungsi hdrologis ekosistem DAS. Dalam kejadian banjir, hujan bukan satu-satunya penyebab banjir tetapi juga tergantung pada daya dukung lingkungan. Sedangkan tanah longsor sangat terkait dengan kerentanan gerakan tanah (faktor geologi) dan curah hujan.

Manajeman penanggulangan bencana banjir dan longsor meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Penanggulangan banjir dan longsor tersebut tidak bisa dilakukan oleh hanya satu sektor atau satu departemen teknis saja, melainkan harus bersifat multisektor dan multi pihak serta melibatkan beberapa wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian diperlukan koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi (KISS) para pihak tersebut dalam tingkat perumusan kebijakan, perencanaan program, implementasi kegiatan dan penganggaran/ pembiayaannya, termasuk mengoptimalkan peran TKPSDA, Forum DAS, MKTI dan Masyarakat Hidrologi Indonesia.




Biaya rekunstruksi dan rehabilitasi pasca bencana relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya untuk pencegahan dan dan mitigasi. Karena itu perlu penekanan pada upaya-upaya pencegahan dan kesiapsiagaan dengan cara mengurangi risiko bencana berupa : integrasi penanggulangan bencana dalam pembangunan nasional, risk assessment dan sistem peringatan dini, membiasakan budaya keselamatan dan ketahanan/resilence, mengurangi faktor penyebab dasar bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Manajemen penanggulangan bencana dari pemerintah kita, masih bersifat konvensional. Bagaimana bencana itu dihindari, bagaimana risiko-risiko yang akan ditimbulkan bencana bisa dihindari, belum terprogram dengan baik. Paradigma penanggulangan bencana memang harus diubah. Paradigma tidak lagi hanya untuk menolong dan menanggulangi bencana yang terjadi, namun kita harus menekan risiko terjadinya bencana. Bencana bisa dipastikan akan terjadi, namun kita harus bisa menekan risiko-risiko yang diakibatkannya.

Manajemen pemerintah dalam penataan hutan perlu dikaji ulang.
Kontrol pemerintah terhadap hutan dianggap sangat lemah. Kalaupun pemerintah menyebutkan bahwa korban tanah longsor di Karanganyar dan Wonogiri adalah akibat kesalahan masyarakat, hal itu juga akan berbalik kembali kepada pemerintah. Bagaimana proses controlling pemerintah? Kalaupun berdalih karena kurangnya lahan tempat tinggal tentunya ini bukan suatu alasan yang dapat begitu saja diterima. Apakah karena lahan tempat tinggal yang tersedia sudah habis lantas pemerintah lepas tangan? Dan lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban. Banyaknya persoalan yang datang bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan masalah yang lalu. Masih banyak yang bisa dilakukan pemerintah.

Proses kontrol oleh pemerintah sebaiknya tak hanya di awal saja, jangan setelah banyaknya persoalan yang datang kontrol ini semakin lama melemah seiring banyaknya pesoalan yang datang. Kebanyakan orang yang menjabat di pemerintahan adalah orang yang hanya memiliki position power, hanya meiliki wewenang formal dalam pemerintahan. Namun kurang memiliki personal power, ikatan dengan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat terkadang tak merasakan adanya pemerintah. Masyarakat baru merasa ada pemerintah kalu ada kebijakan yang bersifat merugikan kita. Inilah yang dianggap kurangnya personal power pemerintah, sehingga apa yang menjadi maksud baik dari pemerintah ditangkap dengan persepsi lain oleh masyarakat. Seperti apa yang terjadi dalam masyarakat korban bencana, bila pemeintah dengan personal powernya mampu berkomunikasi dengan masyarakat tentunya masyarakat juga akan menyambut baik segala kebijakan pemerintah dalam penataan hutan.

Dalam penataan hutan dan pengawasannya, pemerintah harus banyak koordinasi dengan banyak pihak. Sehingga kejadian-kejadian di masyarakat itu tidak terlihat tepisah-pisah. Kerjasama dari LSM, informasi dari masyarakat, serta saran dari berbagai pihak semoga tidak hanya ditampung saja tanpa ada tindak lanjutnya. Kalaupun ada sistem yang kurang tepat, tentunya pemerintah harus berani mengakuinya. Dan tentunya mereka harus menyiapkan skenario yang paling ekstrem/jelek yaitu bila bencana tetap terjadi.

Berbagai tindakan bisa dilakukan untuk menyiapkan diri menghadapi bencana. Dari sistem peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber- sumber yang tersedia, penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihak-pihak yang diberi otoritas memantau perubahan alam, seperti Badan Meteorologi dan Geofisika. Kegiatan persiapan meliputi juga penyebaran informasi kepada masyarakat akan potensi bencana, peningkatan kesadaran masyarakat, sampai latihan penyelamatan diri maupun pelatihan untuk para relawan.

LANGKAH-LANGKAH MANAJEMEN UNTUK PEMINIMALAN DAMPAK NEGATIF AKIBAT BANJIR DAN TANAH LONGSOR :

a) Pemetaan unsur-unsur rawan atau rentan.

Dengan memetakan daerah rawan serta menggabungkan data itu dengan rancangan kegiatan persiapan dan penanganan. Suatu strategi dapat di daerah-daerah luapan air dengan langkah-langkah pengendalian banjir. Para perencana dapat meminta masukan dari berbagai bidang keilmuan untuk menilai risiko-risiko, tingkat risiko yang masih diterima/dianggap cukup wajar (ambang risiko) dan kelayakan kegiatankegiatan lapangan yang direncanakan. Informasi dan bantuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, dari badan-badan internasional hingga ke tiangakt masyarakat.

b) Pemetaan daerah-daerah luapan air/jalur banjir.

Dalam memaparkan banjir, biasanya dipakai frekuensi statistik, menggunakan parameter kejadian dalam 100 tahun. Paparan ini menjadi pedoman pemrograman penanggulangan banjir. Parameter kejadian banjir 100 tahun itu memaparkan areal yang memiliki kemungkinan 1 % terlanda banjir dengan ukuran tertentu pada tahun tertentu. Frekuensi-frekuensi lain mungkin bisa juga dipakai, misalnya 5, 20, 50 atau 500 tahun, tergantung kepada ambang risiko yang ditetapkan untuk suatu evaluasi. Peta dasar dipadukan dengan peta-peta lain dan data-data lain, membentuk gambaran lengkap/utuh tentang jalur banjir. Masukan-masukan lain yang menjadi bahan pertimbangan diantaranya : Analisis kekerapan banjir. Peta-peta pengendapan. Laporan kejadian dan kerusakan. Peta-peta kemiringan / lereng. Peta-peta vegetasi (lokasi tumbuh tanaman, jenis dan kepadatannya). Peta-peta lokasi pemukiman, industri dan kepadatan penduduk. Peta-peta infrastruktur.

Dalam perencanaan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS harus menggunakan data spatial/peta yang baik (memenuhi standar). Untuk itu diperlukan pembagian tugas dalam perpetaan baik antara pusat dan daerah maupun antar sektor/instansi di pusat serta pengembangan jaringan data spatial diantara instasi terkait, sehingga terjadi komunikasi antar para pihak berkepentingan yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan efisiensi.

c) Pemetaan silang bencana-bencana.

Banjir sering menyebabkan, terjadi bersamaan dengan atau

menjadi akibat dari, bencana-bencana lain. Agar daerah-daerah yang rawan terhadap lebih dari satu jenis bencana bisa diketahui, dilakukan penyusunan peta silang, sintetis atau terpadu. Peta ini merupakan alat yang sangat bagus untuk panduan perancangan program pertolongan dan penanggulangan. Namun peta ini masih memiliki kekurangan,yakni tidak memadai jika digunakan

sebagai pedoman kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bencana yang hanya mencakup satu daerah tertentu saja atau bencana tertentu saja.

d) Pengaturan tata guna tanah.

Tujuan pengaturan tata guna tanah melalui undang-undang agraria dan peraturan-peraturan lainnya adalah untuk menekan risiko terhadap nyawa, harta benda dan pembangunan di kawasan-kawasan rawan bencana. Dalam kasus banjir, suatu daerah dianggap rawan bila daerah itu biasanya dan diperkiraakan akan terlanda luapan air dengan dampakdampak negatifnya; penilaian ini didas arkan sejarah banjir dan kondisi daerah. Bantaran sungai dan pantai seharusnya tak boleh dijadikan lokasi pembangunan fisik dan jangan ditinggali.

e) Pengurangan kepadatan penduduk dan bangunan.

Di daerah-daerah rawan banjir, jumlah korban tewas maupun cedera akan langsung terkait dengan kepadatan penduduk. Bila daerah itu masih dalam tahap perencanaan pembangunan atau perluasan kawasan, rencana itu harus mencakup pula kepadatan. Bila daerah itu sudah terlanjur mapan,khususnya jika digunakan sebagai lokasi pemukiman liar oleh pendatang yang tergolong miskin, pengaturan kepadatan biasa menjadi isu yang rawan dan peka , penduduk harus dimukimkan kembali di tempat lain yang lebih aman dengan mempertimbangkan dampak-dampak sosial dan ekonomis perpindahan itu.

f) Larangan penggunaan tanah untuk fungsi -fungsi tertentu.

Jika suatu daerah menjadi ajang banjir sedikitnya rata-rata 1 kali tiap 10 tahun, tidak boleh ada pembangunan skala besar di daerah itu. Pabrik, perumahan dan sebagainya tidak diizinkan di bangun di sana demi kepentingan ekonomis, sosial dan keselamatan para penghuninya sendiri. Daerah itu bukan berarti sama sekali tak bisa dimanfaatkan; pemanfaatannya antara lain untuk kegiatan-kegiatan dengan potensi risiko lebih kecil misalnya arena olah raga atau taman. Prasarana yang bila sampai rusak akan membawa akibat buruk yang besar,misalnya rumah sakit,hanya boleh didirikan di tanah yang

aman. Pengaturan tata guna tanah akan menjamin bahwa daerah-daerah rawan banjir tidak akan menderita dua kali lipat akibat kebanjiran sekaligus pemakaian tanah yang memperparah dampakdampak bencana itu dengan kerugian fisik, sosial, ekonomis dan korban jiwa yang lebih besar lagi.

g) Pemindahan lokasi unsur-unsur yang menghalangi arus banjir.

Bangunan-bnangunan yang menghadang di tengah jalur banjir selalu neresiko terhantam dan tenggelam atau hanyut akibat arus banjir. Selain itu, ada bahaya pemerangkapan dan pemblokiran jalannya banjir yang lants berbelok menggenangi daerah-saerah yang semestinya bebas banjir.

h) Pengaturan tentang bahan-bahan bangunan yang boleh digunakan.

Di zona-zona tertentu yang paling rawan, bangunan dari bahan kayu atau bahan-bahan lain yang ringan harus dilarang didirikan.Ada kalanya boleh dibangun rumah atau gedung dari tanah liat atau cetak, tetapi izin hanya diberikan bila telah diambil langkah-langkah perlindungan.

i) Penepatan jalur pengungsian yang aman.

Tiap lingkungan pemukiman yang rawan banjir harus punya rute penyelamatan yang aman, serta penampungan sementara dilokasi yang letaknya lebih tinggi dari permukaan air banjir. Dilaksanakan penganekaragaman produksi pertanian, misalnya menanam pangan yang ‘kedap – banjir’ atau menambahkan pepohonan di lahan atau menyesuaikan musim tanam dengan musim banjir. Juga dilaksanakan upaya membangun lumbung pangan cadangan dan penyimpanan yang aman untuk produk – produk pertanian. Penghijauan, pengelolaan ruang bududaya dan pengaturan areal merumput ternak untuk mencegah pengguguran dan penggundulan, agar tanah lebih mampu menyerap serta menahan air. Pembangunan gedung-gedung atau bukit-bukit buatan yang cukup tinggi yang akan dipakai sebagai tempat penampungan sementara para pengungsi seandainya

Strategi pencegahan dan penanggulangan banjir dan longsor antara lain :

· Review RTRW berdasarkan kemampuan lahan, mempertimbangkan faktor geologi dan hidrologi DAS.

· Pencegahan penyimpangan tata ruang

· Penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelangar peraturan.

· Klasifikasi sumberdaya lahan berdasarkan kemammpuannya

· Penggunaan lahan berdasarkan kemampuan lahan

· Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (Grand Design/ Management Plan) dan Rencana Tindak.

· Menerapkan teknologi konservasi tanah dan air secara memadai baik secara vegetative maupun structural.

· Mempercepat pembuatan Undang-undang Konservasi Tanah, serta peraturan perundangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu dan peraturan tentang System Standar Operasi Prosedur Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor

· Departemen terkait perlu memprogramkan pencegahan degradasi lahan dan rehabilitasi lahan rusak/kritis sebagai prioritas (mainstreaming)

· Memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS dalam kurikulum pendidikan dan latihan.

3. Pilar Hukum

Peraturan perundang-undangan perlu ada bagi dasar hukum penyelenggaraan pengelolaan DAS yang lestari dan berkelanjutan. Penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum yang dimaksudkan untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan yang ditetapkan. Tujuan akhir dari penegakan hukum adalah ketaatan terhadap ketentuan hukum lingkungan yang berlaku. Ketaatan merupakan kondisi tercapainya dan terpeliharanya ketentuan hukum baik yang berlaku secara umum maupun yang berlaku secara individual. Penegakan hukum mencakup penataan, ialah tindakan administratif dan tindakan yudisial baik keperdataan maupun kepidanaan. Pada hasil pemantauan dapat diketahui jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam izin, dan apabila terjadi pelanggaran dapat diketahui pula bobot pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu dapat ditentukan tindakan hukum apa yang sepatutnya diterapkan terhadap pelanggaran tersebut. Hasil dari tindakan hukum tersebut merupakan arsip atau bahan masukan bagi penyempurnaan dan perkembangan perundang-undangan selanjutnya. Pada pengelolaan DAS selanjutnya adalah kemauan dan motivasi yang tinggi bagi pemerintah maupun masyarakat umumnya untuk dapat mengelolanya dengan baik dan adanya tekad yang kuat menolak usaha-usaha penyuapan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Langkah-langkah penegakan hukum dalam penanganan banjir dan tanah longsor yang bisa ditempuh antara lain :

* Pencegahan penyimpangan tata ruang

* Penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para pelangar peraturan.

* Departemen terkait perlu memprogramkan pencegahan degradasi lahan dan rehabilitasi lahan rusak/kritis sebagai prioritas (mainstreaming)

Departemen Kehutanan telah dan sedang menyusun :

1) Beberapa peraturan perundangan terkait dengan penanganan bencana banjir dan tanah longsor antara lain pembuatan Undang-undang Konservasi Tanah, serta peraturan perundangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu dan peraturan tentang System Standar Operasi Prosedur Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor

2) Melakukan Pemantapan Peraturan Perundangan bidang pengelolaan DAS, yaitu :

a) RUU Konservasi Tanah

b) Perpres Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove,

c) SK Menhut Kriteria Penetapan Urutan DAS Prioritas

d) Penyusunan Pedoman Pemantauan Tata Air dengan Pendekatan Model Hidrologi

e) Pedoman Penyusunan Pengelolaan DAS Terpadu

4. Pilar Politik

Beberapa kebijakan politis yang sudah dilaksanakan pemerintah dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan untuk rehabilitasi DAS rawan banjir dan tanah longsor berupa kegiatan :

1. Pelaksanaan GN RHL / Gerhan 2003-2007 seluas 3 juta ha pada DAS Prioritas I, II dan III dimana salah satu kriteria penetapan lokasi adalah daerah rawan bencana GN-RHL/GERHAN (SK Bersama 3 Menko Tahun 2003). Dikoordinir oleh Departemen Kehutanan.

GNRHL ini adalah sebuah Gerakan moral secara nasional untuk terwujudnya penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan secara terkoordinasi, terencana dan terpadu dengan peran serta semua pihak (pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, BUMN/S/D, LSM, perguruan tinggi, TNI, kelompok tani dan lain-lain) melalui mobilisasi sumber daya untuk upaya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi

Sasaran Lokasi : DAS PRIORITAS I, II DAN III PADA KAWASAN HUTAN KONSERVASI, HUTAN LINDUNG, HUTAN PRODUKSI, DAN AREAL DI LUAR KAWASAN HUTAN

Kegiatan :

1) Perencanaan (RHL 5 tahun, RTT, Rancangan Teknis)

2) Penyediaan bibit berkualitas

3) Pembuatan tanaman (reboisasi, hutan rakyat, hutan kota, turus jalan, rehabilitasi mangrove/tan. pantai, sistem pot, penghijauan lingkungan)

4) Pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali, dam penahan, pengendali jurang, sumur resapan, embung air)

5) Kegiatan spesifik (Litbang, silvikultur intensif/tanaman langka, biofarma, jati Muna)

6) Pengembangan kelembagaan (Tim pengendali/pembina pusat/prop/kab/kota, kelompok tani, kemitraan)

7) Pembangunan citra

8) Membangun koordinasi dan integrasi multipihak dalam penyelamatan sumberdaya air melalui GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air)

9) Program Kecil Menanam Dewasa Memanen menunjang GN RHL/Gerhan

2. GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air)

Dikoordinir oleh Departemen Pekerjaan Umum

Dicanangkan Presiden pada tanggal 25 April 2005 di Jakarta

Penandatanganan kebulatan tekad tindak nyata oleh Menteri terkait pada tanggal 20 September 2005 di Jakarta, dan oleh Pejabat Eselon I

GNKPA komplementer dengan GNRHL/Gerhan

Sasaran GNKPA 16 DAS/DTA : Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Brantas, Solo, Asahan, Batanghari, Way Seputih, Barito, Palung/Menanga, Jeneberang, Wallanae, Benain,Memberamo dan Digul

3. KECIL MENANAM DEWASA MEMANEN (KMDM) MENUNJANG GN RHL/GERHAN
Dikoordinir oleh Departemen Kehutanan

  1. Pelaku : Siswa/i Sekolah Dasar
  2. Aktivitas : Penyediaan bibit dan penanaman sebagai sarana pembelajaran
  3. Hasil kegiatan : Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental anak-anak dalam pembuatan tanaman; tanaman penghijauan di lingkungan sekolah/fasum/fasos dan tempat tinggal.

SIMPULAN :

Dari berbagai fakta yang ada jelas terlihat bahwa bencana besar yang terjadi tidak serta merta datang, namun didahului oleh adanya eksploitasi lingkungan, adanya kebijakan yang tidak memenuhi aspirasi masyarakat, serta tidak adanya managemen bencana dari pemerintah.

Bencana-bencana tersebut seharusnya tidak perlu terjadi dan bisa diminimalisir oleh pemerintah seandainya pemerintah berbesar hati untuk tidak mencampakkan alam dengan dalih kebijakan pembangunan atau devisa. Sungguh bencana tersebut adalah bencana yang terencana.