Di Indonesia, kota-kota yang rawan banjir karena berada di daerah aliran sungai antara lain:
01. DKI Jakarta dengan sungai-sungai, Tunjungan/Kamal, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung.
01. DKI Jakarta dengan sungai-sungai, Tunjungan/Kamal, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat dan Cakung.
02. Bandung dengan sungai-sungai Citarum, Cinambo, Cikapundung;
03. Bogor dengan sungai-sungai Ciliwung, Cisadane;
04. Bekasi dengan sungai-sungai Bekasi, Cikeas, Citarum;
05. Tanggerang dengan sungai Cisadane
06. Semarang dengan kali Garang/Kali Semarang
07. Surabaya dengan kali Brantas
08. Palembang dengan sungai Musi
09. Padang dengan batang Arau, batang Kuranji, batang Air Dingin
10. Jambi dengan sungai Batanghari
11. Pekanbaru dengan sungai Siak
12. Medan dengan sungai-sungai: Deli, Babura, Kera, Percut dan Belawan
13. Banjarmasin dengan sungai Barito
14. Samarinda dengan sungai Mahakam
15. Palangkaraya dengan sungai Kahayan
16. Makasar dengan sungai Jeneberang
17. Banda Aceh denganKrueng Aceh
18. Pontianak dengan sungai Kapuas
19. Surakarta/Solo dengan bengawan Solo
20. Yogyakarta dengan kali Code
21. Ambon dengan sungai-sungai Batumerah, Batugajah, Waitomu, Wainuru
22. Kendari dengan sungai-sungai Sampana, Wanggo.
23. Denpasar dengan Tukad Bubuh, Tukad Ayung, Tukad Badung
24. Sorong dengan sungai Remu
25. Mataram dengan sungai-sungai Janguk, Ancar, Bernyok, Ening
26. Jayapura dengan sungai-sungai Anafre, Siborgonyi
27. Kupang (dengan sungaiTilong)
28. Palu (dengan sungai Palu)
29. Bengkulu (sungai Bengkulu)
30. Poso (dengan sungai Poso)
31. Gorontalo (dengan sungai-sunga Bone, Tolango)
32. Manado (dengan sungai Tondano, Bailang)
33. Bandar Lampung (dengan sungai-sungai Way Kuripan, Way Lunik, Way Sukamaju).
34. Pangkal Pinang (dengan sungai-sungai Rangkui, Baturusa)
35. Malang (dengan sungai-sungai Brantas, Bango, Amprong)
36. Cilacap (dengan sungai Citandui)
37. Serang (dengan sungai Cibanten)
38. Amurang (dengan sungai Ranoyapo)
39. Probolinggo (dengan sungai Pekalen)
40. Manokwari (dengan sungai Wosi)
41. Bojonegoro (Bengawan Solo)
42. Madiun (Kali Madiun)
Pesatnya pertumbuhan kawasan perkotaan yang telah memicu urbanisasi. Akibatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan meningkat sehingga lahan dataran banjir –yang sebenarnya rawan terhadap genangan dan banjir— terpaksa dibudidayakan menjadi tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Sementara resiko kemungkinan tergenang banjir tampak kurang mendapat perhatian. Ini setidaknya terlihat pada perkembangan area genangan banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Daerah dataran banjir yang sudah dilindungi bangunan tanggul seperti Setiabudi/Kuningan, Sunter, Kelapa Gading, dan sebagainya, maupun yang telah dilayani dengan sistem polder (berupa waduk dan stasion pompa), seperti di Tomang Barat, Grogol, Setiabudi, Pluit, Rawa Badak dan kompleks perumahan TNI-AL Kodamar, tetap tak luput dari genangan banjir.
Selain karena tingginya intensitas hujan setemp at genangan juga terjadiakibat luapan sungai, akibat limpasan diatas tanggul, akibat tanggul bobol, maupun akibat drainase dan polder yang lumpuh. Ini membuktikan bahwa meskipun masalah banjir dan genangan telah ditangani dengan membangun prasarana dan sarana fisik pengendali banjir dan sistem drainase (structural measures) ternyata resiko terjadinya genangan di lahan yang berupa dataran banjir tetap ada.
Prasarana dan sarana fisik pengendali banjir dan system drainase memang tidak mengubah/menciptakan dataran banjir terbebas dari banjir dan genangan sepenuhnya, karena seluruhnya prasarana dan sarana fisik dibangun berdasarkan besaran banjir tertentu sesuai kelayakannya, dan bukan untuk banjir besar. (LS2LP)
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
LS2LP ( Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan )Jln. Situbondo No. 2 Pav. Menteng - Jakarta PusatTelp. : (021) 3157147
Penulis: Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan
Pesatnya pertumbuhan kawasan perkotaan yang telah memicu urbanisasi. Akibatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan meningkat sehingga lahan dataran banjir –yang sebenarnya rawan terhadap genangan dan banjir— terpaksa dibudidayakan menjadi tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Sementara resiko kemungkinan tergenang banjir tampak kurang mendapat perhatian. Ini setidaknya terlihat pada perkembangan area genangan banjir yang terjadi di wilayah DKI Jakarta. Daerah dataran banjir yang sudah dilindungi bangunan tanggul seperti Setiabudi/Kuningan, Sunter, Kelapa Gading, dan sebagainya, maupun yang telah dilayani dengan sistem polder (berupa waduk dan stasion pompa), seperti di Tomang Barat, Grogol, Setiabudi, Pluit, Rawa Badak dan kompleks perumahan TNI-AL Kodamar, tetap tak luput dari genangan banjir.
Selain karena tingginya intensitas hujan setemp at genangan juga terjadiakibat luapan sungai, akibat limpasan diatas tanggul, akibat tanggul bobol, maupun akibat drainase dan polder yang lumpuh. Ini membuktikan bahwa meskipun masalah banjir dan genangan telah ditangani dengan membangun prasarana dan sarana fisik pengendali banjir dan sistem drainase (structural measures) ternyata resiko terjadinya genangan di lahan yang berupa dataran banjir tetap ada.
Prasarana dan sarana fisik pengendali banjir dan system drainase memang tidak mengubah/menciptakan dataran banjir terbebas dari banjir dan genangan sepenuhnya, karena seluruhnya prasarana dan sarana fisik dibangun berdasarkan besaran banjir tertentu sesuai kelayakannya, dan bukan untuk banjir besar. (LS2LP)
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
LS2LP ( Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan )Jln. Situbondo No. 2 Pav. Menteng - Jakarta PusatTelp. : (021) 3157147
Penulis: Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar